“Indonesia berbagi dengan anggota kelompok lainnya mendukung untuk reformasi lembaga tata kelola global dan berkontribusi positif terhadap pendalaman kerja sama di Global South,” kata Pemerintah Brasil, dikutip dari Reuters.
Kementerian Luar Negeri mengapresiasi Brasil selaku Ketua BRICS 2025. Pencapaian ini mereka klaim sebagai cerminan peningkatan peran aktif Indonesia dalam isu-isu global, serta komitmen memperkuat kerja sama multilateral demi mewujudkan tatanan global yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Pemerintah memandang keanggotaan BRICS ini merupakan langkah strategis dalam meningkatkan kolaborasi dan kerja sama dengan negara berkembang lain. Ini ditempuh berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati, dan pembangunan berkelanjutan.
“Sebagai negara dengan perekonomian yang terus tumbuh dan beragam, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda BRICS, termasuk mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, pembangunan berkelanjutan, dan mengatasi tantangan global, seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat,” tulis pernyataan resmi Kemlu, Selasa (7/1).
“Kami berdedikasi penuh untuk bekerja sama dengan seluruh anggota BRICS ataupun dengan pihak lainnya, untuk mewujudkan terciptanya dunia yang adil, damai, dan sejahtera,” tambah kementerian pimpinan Sugiono itu.
Lantas, apa saja untung dan buntung Indonesia bergabung ke BRICS? Apa mungkin ini merupakan jalan pintas Presiden Prabowo Subianto mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen?
Prabowo memang mematok target tinggi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Walau, ia sendiri tak berani berjanji target itu bakal tercapai di masa kepemimpinannya.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan ada cukup banyak keuntungan besar yang sebenarnya bisa didapat Indonesia dari keanggotaannya di BRICS. Terlebih, anggota BRICS juga sudah mencakup Timur Tengah, sejalan dengan niat ekspansi Indonesia ke pasar negara di kawasan tersebut.
Ia menjabarkan proporsi ekonomi negara BRICS mengalami peningkatan yang cukup tajam. Awalnya pada 1990 proporsi ekonomi negara di kelompok ini hanya 15,66 persen, kemudian melonjak sampai 32 persen di 2022.
Perekonomian salah satu dedengkotnya, China, memang diprediksi akan melambat. Akan tetapi, Negeri Tirai Bambu tetap akan menjadi pesaing Amerika Serikat (AS).
“Bergabung dengan BRICS akan memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk bisa lepas dari pasar tradisional, seperti AS dan Eropa. Eropa pun sebenarnya sudah mulai ‘resek’ dengan kebijakan ekspor Indonesia, di mana sering terlibat perselisihan dalam hal perdagangan global, salah satunya hambatan EUDR untuk komoditas kelapa sawit,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
“Prabowo pun menunjukkan keberpihakannya kepada sawit lokal. Saya rasa itu menjadi pertimbangan juga untuk mencari pasar alternatif,” tegas Huda.
Huda meyakini koalisi politik dan ekonomi bisa mem-boost pertumbuhan Indonesia ke depan. Akan tetapi, ia menegaskan status sebagai anggota penuh BRICS bukan jaminan ekonomi tumbuh 8 persen.
Sang ekonom menilai target ambisius Prabowo itu belum tentu terbantu dengan masuknya Indonesia ke blok ekonomi BRICS. Pasalnya, perekonomian negara ini masih berpangku pada sektor konsumsi domestik.
“Saya masih menganggap target pertumbuhan ekonomi 8 persen halu. Mau gabung ke BRICS pun gak bisa mendongkrak. Perekonomian kita memang ditopang oleh konsumsi domestik, ekspor ke negara lain tidak berpengaruh banyak,” ungkap Huda.
Di lain sisi, status baru Indonesia malah memunculkan risiko bentrok kepentingan dengan negara adidaya lain, yakni Amerika Serikat. Negara-negara BRICS dikhawatirkan berseteru soal fasilitas perdagangan dengan AS yang bisa dicabut atau bahkan dikurangi.
Potensi perang dagang AS dan China juga masih terbuka. Terlebih, Donald Trump kembali memegang kendali kepemimpinan Negeri Paman Sam usai menang Pilpres 2024.
“Ada potensi ekonomi global akan melambat dan ber-impact pada negara koalisi. Memang saya rasa pilihan masuk ke BRICS lebih rasional ke depan, walaupun juga ada risikonya dengan negara-negara Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) dan Blok Barat,” tandasnya.