2 Raksasa Eropa Cabut dari Proyek Nikel Rp 42 T di RI, BKPM Buka Suara

2 Raksasa Eropa Cabut dari Proyek Nikel Rp 42 T di RI, BKPM Buka Suara

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan tiga pemimpin perusahaan Eropa di Hotel Kastens Luisenhoff, Hannover, Jerman/Foto: Dok. BPMI Setpres
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan tiga pemimpin perusahaan Eropa di Hotel Kastens Luisenhoff, Hannover, Jerman/Foto: Dok. BPMI Setpres

Jakarta – Perusahaan kimia terkemuka di Jerman, BASF membatalkan rencana investasi pemurnian nikel-kobalt pada proyek Sonic Bay di Maluku Utara. Tak hanya BASF, perusahaan tambang asal Prancis, Eramet, juga mundur dari proyek tersebut.

Merespons itu, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menegaskan keputusan tersebut telah diketahui oleh Pemerintah Indonesia. Langkah BASF dan Eramet juga tidak menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada sektor hilirisasi di Indonesia.

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan menyampaikan, BASF dan Eramet yang telah memiliki legalitas usaha atas nama PT Eramet Halmahera Nikel (PT EHN) untuk mengembangkan proyek Sonic Bay.

Nilai investasinya ditaksir mencapai US$ 2,6 miliar atau sekitar Rp 42,64 triliun (kurs Rp 16.400) di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara.

Proyek ini berupa pembangunan pabrik pemurnian nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP). Nurul menjelaskan keputusan tersebut diperoleh setelah melakukan berbagai evaluasi.

“Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini. Namun pada perjalanannya, perusahaan beralih fokus, sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini,” ujar Nurul dalam keterangan tertulis, Kamis (27/6/2024).

Berdasarkan rilis perusahaan, keputusan BASF dan Eramet untuk tidak meneruskan rencana investasi didasarkan pada pertimbangan akan perubahan kondisi pasar nikel yang signifikan, khususnya pada pilihan nikel yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik. Sehingga, BASF memutuskan bahwa tidak ada lagi kebutuhan untuk melakukan investasi suplai material baterai kendaraan listrik.

“Kami melihat hilirisasi untuk ekosistem baterai kendaraan listrik masih sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Apalagi, baru-baru saja Indonesia mendapat peringkat 27 pada World Competitiveness Ranking (WCR) 2024. Top 3 terbaik di wilayah ASEAN,” imbuh Nurul.

Menurunnya minat investor asing di sektor hilirisasi tetap tinggi dan bahkan beberapa proyek investasi di sektor tersebut telah mencapai tahap realisasi. Sebagai contoh, proyek smelter tembaga terbesar di dunia milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur resmi beroperasi mulai 27 Juni 2024.

Bukti nyata lainnya, kata dia, produksi massal baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia akan dimulai oleh PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat pada Juli 2024 dan akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.