Derita Malaysia: Ringgit & Ekspor Ambruk, Utang Menggunung

Derita Malaysia: Ringgit & Ekspor Ambruk, Utang Menggunung

Foto: Bendera Malaysia di Perdana Putra, kompleks kantor Perdana Menteri di Putrajaya

Jakarta, BeritaMega4D.com Indonesia – Pelemahan mata uang ringgit Malaysia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah kondisi global yang tidak stabil berdampak pada banyak hal, mulai dari impor yang kian mahal hingga utang luar negeri yang membengkak. Persoalan ini mendapat perhatian besar mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad dengan solusi mematok nilai tukarnya.

Dilansir dari Refinitiv, ringgit telah melemah terhadap dolar AS sebesar 5,03% year to date/ytd. Sementara titik terlemah ringgit yakni di level MYR4,79/US$ pada 23 Oktober 2023 dan tercatat melemah 8,14% ytd.

Ambruknya ringgit ini tak lepas dari kuatnya indeks dolar AS (DXY), tingginya harga minyak dunia, serta pelemahan ekonomi China. Depresiasi ringgit semakin parah karena kuatnya pertumbuhan ekonomi AS dengan data ketenagakerjaan yang masih solid serta sikap bank sentral AS (The Fed) yang cukup hawkish beberapa waktu lalu dan memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di posisi yang tinggi dalam waktu yang lama untuk melawan inflasi.

Sebagai informasi, mata uang yang lebih murah membuat biaya impor yang lebih tinggi. Di sisi lain, eksportir regional kesulitan untuk mengambil keuntungan dari penurunan ini, karena ketidakpastian masih terjadi di pasar-pasar besar, khususnya China.

Untuk diketahui, ringgit telah terpukul oleh paparan Malaysia yang lebih besar terhadap perekonomian China, yang mengalami pertumbuhan mengecewakan. Selama lebih dari 13 tahun, China adalah mitra dagang terbesar bagi Malaysia.

Perdagangan bilateral kedua negara mencetak rekor US$ 203,6 miliar pada 2022 atau sekitar Rp 3.162,9 triliun (US$1=Rp 15.535), melesat dibandingkan 2021 yang tercatat US$ 176,8 miliar.

Lebih lanjut, lemahnya harga komoditas seperti minyak kelapa sawit dan gas alam, yang menyumbang sebagian besar ekspor Malaysia, juga merupakan faktor negatif lainnya.

Baca Juga : Duh! Ekonomi RI Diramal Loyo Karena Warga RI Malas Belanja

Sebagai catatan, ekspor Malaysia ke China periode September tercatat turun 17,3% menjadi MYR16,6 miliar atau sekitar Rp 55 triliun (1MYR= Rp 3.350).

Sedangkan impor Malaysia dari China periode September juga berada terkontraksi 9% di angka MYR21,7 miliar. Dengan kata lain, neraca dagang Malaysia terhadap China periode September mengalami defisit MYR5,1 miliar.

Kontraksi ekspor Malaysia secara tahunan sempat menyentuh titik terendahnya yakni terkoreksi 18,6% pada Agustus 2023  Sementara pada periode September, Ekspor Malaysia terkoreksi  13,7% (year on year/yoy) menjadi MYR124,5 miliar, meleset dari perkiraan pasar yang memperkirakan koreksi 16,5% dan dibandingkan dengan kontraksi sebesar 18,7% yang direvisi naik pada bulan sebelumnya.

Hal ini menandai kontraksi ekspor selama tujuh bulan berturut-turut, seiring dengan penurunan penjualan di semua sektor, yaitu; pertambangan (-28%), khususnya LNG (-37,8%) dan kondensat & minyak bumi lainnya (-26,8%)

Sedangkan impor Malaysia pun ikut turun 11,1% dari tahun sebelumnya menjadi MYR99,95 miliar pada September 2023, meleset dari perkiraan pasar yaitu penurunan 12,2% dan melambat tajam dari penurunan 21,2% pada bulan sebelumnya.

Hal ini menandai kontraksi selama tujuh bulan berturut-turut, karena penurunan pembelian barang setengah jadi (-15,6%), yang disebabkan oleh penurunan pembelian makanan & minuman, pengolahan, terutama untuk industri (-59,2%)

Pelemahan ekspor dan impor Malaysia pun tercermin dari neraca dagangnya yang terus menyempit menjadi MYR24,5 miliar (Rp 82,08 triliun)  pada September 2023 dari MYR31,8 miliar (Rp 106,53 triliun) pada bulan yang sama tahun sebelumnya, namun lebih besar dari perkiraan pasar sebesar MYR22,7 miliar.

Lebih lanjut, sembilan bulan pertama tahun 2023, surplus perdagangan negara tersebut turun menjadi MYR177,3 miliar dari MYR188 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Depresiasi ringgit pun berdampak pada Obligasi Pemerintah Malaysia tenor 10 tahun. Tercatat imbal hasil tertinggi obligasi tersebut pada 23 Oktober 2023 di level 4,2% atau tertinggi sejak satu tahun terakhir. Imbal hasil yang tinggi mengindikasikan bahwa investor menjual obligasi yang mereka beli karena imbal hasil memiliki korelasi terbalik dengan harga obligasi.

Lonjakan imbal hasil obligasi semakin membebani pemerintah mengingat semakin tinggi imbal hasil yang ditawarkan, maka pemerintah memiliki kewajiban membayar imbal hasil dengan cukup tinggi.

Departemen Statistik Malaysia merilis biaya utang (debt service charges) yang dipikul pemerintah Malaysia yang terus mengalami kenaikan untuk dua kuartal pertama sejak 2018 hingga 2023.

Tidak hanya itu, utang dalam negeri dalam bentuk treasury bills pun ikut merangkak naik untuk dua kuartal pertama sejak 2018 hingga 2023. Semakin banyaknya treasury bills maka secara langsung akan menambah porsi total utang dalam negeri pemerintah Malaysia.

Keseluruhan total utang dalam negeri Malaysia telah melonjak lebih dari 50% hanya dalam waktu lima tahun. Akumulasi total utang dalam negeri Malaysia pada semester I-2018 hanya sebesar MYR14,62 miliar atau sekitar Rp 48,97 triliun. Pada semester 1-2023, angka ini melonjak tinggi menjadi MYR22,24 miliar atau sekitar Rp 74,50 triliun.

Nilai Ringgit Dipatok?

Dalam mengatasi hal tersebut, seorang mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan negaranya harus mempertimbangkan mematok mata uangnya yang melemah terhadap dolar, mengulangi kebijakan yang ia terapkan saat Krisis Keuangan Asia pada akhir tahun 1990an.

“Ini adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan,” kata Mahathir dalam sebuah wawancara pada hari Rabu (1/11/2023) di kantornya di Putrajaya, dikutip dari Bloomberg.

Pada saat Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Mahathir yang menjabat sebagai Perdana Menteri menjadi yang pertama kali menolak dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dia malah memperkenalkan kontrol modal (capital control) pada bulan September 1998 dan kemudian mematok ringgit pada MYR3,8/US$, sebuah kebijakan yang tetap berlaku hingga tahun 2005.

IMF, yang pada saat itu menyebut nilai tukar ringgit sebagai “langkah kemunduran”, kemudian mengakui bahwa nilai tukar ringgit adalah “jangkar stabilitas” yang membantu pemulihan perekonomian.

“Investor asing sangat senang,” kata Mahathir dalam wawancara.