Orang Rohingya Terlibat Baku Tembak dengan Polisi, 3 Tewas

Orang Rohingya Terlibat Baku Tembak dengan Polisi, 3 Tewas
SELAYANG JAYA, beritamega4d.com – Sebanyak tiga orang Rohingya ditembak mati polisi Malaysia pada Sabtu (23/12/2023) malam di Selayang Jaya setelah terjadi baku tembak.

Dikutip dari mega4dnews, polisi saat itu sedang berada di kawasan Selayang Jaya dan mendapati mobil Ford Fiesta dikendarai secara mencurigakan.

Polisi kemudian menghentikan mobil itu dan hendak memeriksanya, tetapi dua orang di dalamnya menembakkan senjata ke arah petugas.

Sebagai balasan, polisi melepaskan tujuh tembakan dan masing-masing orang Rohingya itu terkena satu peluru. Semuanya tewas karena luka-luka mereka di tempat kejadian.

Setelah mobil digeledah, ditemukan dua pistol jenis Revolver dan satu parang. Mereka diduga anggota geng Rantau Fiesta yang terlibat lebih dari 50 perampokan di enam negara bagian.

Di negara bagian Selangor saja, mereka diperkirakan melakukan 27 perampokan yang menyebabkan kerugian sekitar 1,3 juta ringgit (Rp 4,34 miliar).

Kasus terbaru terjadi di Batang Kali pada 8 Desember 2023. Mereka mencuri tiga jam tangan Rolex dan dua arloji Hublot yang total ditaksir bernilai sekitar 445.000 ringgit (Rp 1,48 miliar).

Menurut media Bernama yang dikelola Pemerintah Malaysia, geng tersebut kerap mencuri barang-barang kecil berharga tinggi seperti jam tangan dan perhiasan.

Ketiga orang ini sudah melakukan tindakan kriminal sejak 2011. Polis Diraja Malaysia (PDRM) sedang melacak sisa anggota geng dan orang-orang yang membeli barang curian tersebut.

Derita Malaysia: Ringgit & Ekspor Ambruk, Utang Menggunung

Derita Malaysia: Ringgit & Ekspor Ambruk, Utang Menggunung
Foto: Bendera Malaysia di Perdana Putra, kompleks kantor Perdana Menteri di Putrajaya

Jakarta, BeritaMega4D.com Indonesia – Pelemahan mata uang ringgit Malaysia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah kondisi global yang tidak stabil berdampak pada banyak hal, mulai dari impor yang kian mahal hingga utang luar negeri yang membengkak. Persoalan ini mendapat perhatian besar mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad dengan solusi mematok nilai tukarnya.

Dilansir dari Refinitiv, ringgit telah melemah terhadap dolar AS sebesar 5,03% year to date/ytd. Sementara titik terlemah ringgit yakni di level MYR4,79/US$ pada 23 Oktober 2023 dan tercatat melemah 8,14% ytd.

Ambruknya ringgit ini tak lepas dari kuatnya indeks dolar AS (DXY), tingginya harga minyak dunia, serta pelemahan ekonomi China. Depresiasi ringgit semakin parah karena kuatnya pertumbuhan ekonomi AS dengan data ketenagakerjaan yang masih solid serta sikap bank sentral AS (The Fed) yang cukup hawkish beberapa waktu lalu dan memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di posisi yang tinggi dalam waktu yang lama untuk melawan inflasi.

Sebagai informasi, mata uang yang lebih murah membuat biaya impor yang lebih tinggi. Di sisi lain, eksportir regional kesulitan untuk mengambil keuntungan dari penurunan ini, karena ketidakpastian masih terjadi di pasar-pasar besar, khususnya China.

Untuk diketahui, ringgit telah terpukul oleh paparan Malaysia yang lebih besar terhadap perekonomian China, yang mengalami pertumbuhan mengecewakan. Selama lebih dari 13 tahun, China adalah mitra dagang terbesar bagi Malaysia.

Perdagangan bilateral kedua negara mencetak rekor US$ 203,6 miliar pada 2022 atau sekitar Rp 3.162,9 triliun (US$1=Rp 15.535), melesat dibandingkan 2021 yang tercatat US$ 176,8 miliar.

Lebih lanjut, lemahnya harga komoditas seperti minyak kelapa sawit dan gas alam, yang menyumbang sebagian besar ekspor Malaysia, juga merupakan faktor negatif lainnya.

Baca Juga : Duh! Ekonomi RI Diramal Loyo Karena Warga RI Malas Belanja

Sebagai catatan, ekspor Malaysia ke China periode September tercatat turun 17,3% menjadi MYR16,6 miliar atau sekitar Rp 55 triliun (1MYR= Rp 3.350).

Sedangkan impor Malaysia dari China periode September juga berada terkontraksi 9% di angka MYR21,7 miliar. Dengan kata lain, neraca dagang Malaysia terhadap China periode September mengalami defisit MYR5,1 miliar.

Kontraksi ekspor Malaysia secara tahunan sempat menyentuh titik terendahnya yakni terkoreksi 18,6% pada Agustus 2023  Sementara pada periode September, Ekspor Malaysia terkoreksi  13,7% (year on year/yoy) menjadi MYR124,5 miliar, meleset dari perkiraan pasar yang memperkirakan koreksi 16,5% dan dibandingkan dengan kontraksi sebesar 18,7% yang direvisi naik pada bulan sebelumnya.

Hal ini menandai kontraksi ekspor selama tujuh bulan berturut-turut, seiring dengan penurunan penjualan di semua sektor, yaitu; pertambangan (-28%), khususnya LNG (-37,8%) dan kondensat & minyak bumi lainnya (-26,8%)

Sedangkan impor Malaysia pun ikut turun 11,1% dari tahun sebelumnya menjadi MYR99,95 miliar pada September 2023, meleset dari perkiraan pasar yaitu penurunan 12,2% dan melambat tajam dari penurunan 21,2% pada bulan sebelumnya.

Hal ini menandai kontraksi selama tujuh bulan berturut-turut, karena penurunan pembelian barang setengah jadi (-15,6%), yang disebabkan oleh penurunan pembelian makanan & minuman, pengolahan, terutama untuk industri (-59,2%)

Pelemahan ekspor dan impor Malaysia pun tercermin dari neraca dagangnya yang terus menyempit menjadi MYR24,5 miliar (Rp 82,08 triliun)  pada September 2023 dari MYR31,8 miliar (Rp 106,53 triliun) pada bulan yang sama tahun sebelumnya, namun lebih besar dari perkiraan pasar sebesar MYR22,7 miliar.

Lebih lanjut, sembilan bulan pertama tahun 2023, surplus perdagangan negara tersebut turun menjadi MYR177,3 miliar dari MYR188 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Depresiasi ringgit pun berdampak pada Obligasi Pemerintah Malaysia tenor 10 tahun. Tercatat imbal hasil tertinggi obligasi tersebut pada 23 Oktober 2023 di level 4,2% atau tertinggi sejak satu tahun terakhir. Imbal hasil yang tinggi mengindikasikan bahwa investor menjual obligasi yang mereka beli karena imbal hasil memiliki korelasi terbalik dengan harga obligasi.

Lonjakan imbal hasil obligasi semakin membebani pemerintah mengingat semakin tinggi imbal hasil yang ditawarkan, maka pemerintah memiliki kewajiban membayar imbal hasil dengan cukup tinggi.

Departemen Statistik Malaysia merilis biaya utang (debt service charges) yang dipikul pemerintah Malaysia yang terus mengalami kenaikan untuk dua kuartal pertama sejak 2018 hingga 2023.

Tidak hanya itu, utang dalam negeri dalam bentuk treasury bills pun ikut merangkak naik untuk dua kuartal pertama sejak 2018 hingga 2023. Semakin banyaknya treasury bills maka secara langsung akan menambah porsi total utang dalam negeri pemerintah Malaysia.

Keseluruhan total utang dalam negeri Malaysia telah melonjak lebih dari 50% hanya dalam waktu lima tahun. Akumulasi total utang dalam negeri Malaysia pada semester I-2018 hanya sebesar MYR14,62 miliar atau sekitar Rp 48,97 triliun. Pada semester 1-2023, angka ini melonjak tinggi menjadi MYR22,24 miliar atau sekitar Rp 74,50 triliun.

Nilai Ringgit Dipatok?

Dalam mengatasi hal tersebut, seorang mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan negaranya harus mempertimbangkan mematok mata uangnya yang melemah terhadap dolar, mengulangi kebijakan yang ia terapkan saat Krisis Keuangan Asia pada akhir tahun 1990an.

“Ini adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan,” kata Mahathir dalam sebuah wawancara pada hari Rabu (1/11/2023) di kantornya di Putrajaya, dikutip dari Bloomberg.

Pada saat Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Mahathir yang menjabat sebagai Perdana Menteri menjadi yang pertama kali menolak dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dia malah memperkenalkan kontrol modal (capital control) pada bulan September 1998 dan kemudian mematok ringgit pada MYR3,8/US$, sebuah kebijakan yang tetap berlaku hingga tahun 2005.

IMF, yang pada saat itu menyebut nilai tukar ringgit sebagai “langkah kemunduran”, kemudian mengakui bahwa nilai tukar ringgit adalah “jangkar stabilitas” yang membantu pemulihan perekonomian.

“Investor asing sangat senang,” kata Mahathir dalam wawancara.

Ringgit Malaysia dan Rupiah Sama-Sama Anjlok, Sri Mulyani: Kita Lebih Baik

Beritamega4d.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Bank Indonesia menempuh langkah-langkah stabilisasi dari depresiasi nilai tukar Rupiah

Beritamega4d.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Bank Indonesia menempuh langkah-langkah stabilisasi dari depresiasi nilai tukar Rupiah, seiring penguatan dolar Amerika Serikat (USD) dalam beberapa pekan terakhir.

Sama seperti Rupiah, Ringgit Malaysia juga mengalami depresiasi. Bahkan Ringgit Malaysia menjadi salah satu mata uang di Asia Tenggara yang mengalami pelemahan.

“Depresiasi Rupiah kita relatif baik yaitu sebesar 2,34 persen year-to-date,” ungkap Menkeu dalam Konferensi Pers KSSK pada Jumat (3/11/2023).

“Ke depan, langkah stabilisasi nilai tukar Rupiah terus diperkuat agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dan untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation,” pungkasnya.

Selain itu, upaya lain juga terus diperkuat untuk memperkuat mekanisme pasar di dalam manajemen, likuiditas dari institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri, serta meningkatkan dan memperluas koordinasi di dalam rangka implementasi instrumen penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam yang sejalan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023.

“Penguatan Harmonisasi dari Kebijakan Fiskal, moneter dan sektor keuangan juga akan terus dilakukan. Hal ini untuk memperkuat efektivitas bauran kebijakan makro baik di dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, maupun untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi kita,” tambah Sri Mulyani.

Menkeu memaparkan, indeks nilai tukar USD terhadap mata uang utama yang sering dalam hal ini disebut di DXY pada tanggal 27 Oktober 2023 lalu berada pada tingkat 106,56.

“Ini artinya terjadi penguatan 2,93 year-to-date,” kata Sri Mulyani.

Lebih lanjut dia membeberkan, peningkatan indeks DXY yaitu indeks nilai tukar dolar ini memberi tekanan depresiasi terhadap mata uang counterpartnya, seperti Yen Jepang yang melemah 12,61 persen dan Dollar Australia mengalami depresiasi atau perlemahan 6,72 persen year-to-date.

Adapun depresiasi dari mata uang di negara tetangga Indonesia di ASEAN, salah satunya Ringgit Malaysia sebesar 7,82 persen dan Baht Thailand 4,39 persen year-to-date.

Ringgit Malaysia Ambrol, Nyaris Sentuh Level Terendah Sejak 1998

Sebelumnya, mengutip Bloomberg, Selasa (31/10/2023) Ringgit Malaysia telah berada di dekat level terlemahnya sejak tahun 1998, jatuh hampir 8 persen terhadap dolar Amerika Serikat (USD) tahun ini.

Pekan lalu, Ringgit Malaysia turun menjadi 4,7958 per dolar AS, menandai nilai terlemah dalam lebih dari 25 tahun.

Penembusan titik terendah tahun 1998 di 4,8850 per dolar akan membawanya ke rekor terendah.

Investor Ringgit Malaysia kini berharap bank sentral negara tersebut akan mengambil tindakan untuk mendukung Ringgit.

Hal ini membuat keputusan kebijakan Bank Negara Malaysia (BNM) pada hari Kamis menjadi fokus, terutama setelah bank sentral Indonesia (BI) dan Filipina baru-baru ini menaikkan suku bunga untuk mendukung mata uang mereka.

Meskipun Bloomberg Economics memperkirakan tidak ada perubahan dalam suku bunga kebijakan BNM, beberapa analis memperkirakan bank sentral akan mengumumkan langkah-langkah lain untuk menyelematkan Ringgit.

“Mungkin ada beberapa kebingungan yang menunjukkan bahwa BNM mewaspadai pergerakan Ringgit yang menyimpang terlalu jauh dari fundamental dan bersifat spekulatif,” kata Vishnu Varathan, kepala ekonomi dan strategi di Mizuho Bank Ltd di Singapura.

BNM juga diprediksi dapat memberlakukan beberapa batasan sementara pada posisi valas, dan insentif untuk memarkir deposit valas dan investasi masuk, katanya.

 

Suku Bunga

Sejak bulan Juli 2023, BNM telah mempertahankan suku bunga utama sebesar 3 persen. Langkah ini menempatkannya pada rekor diskon relatif terhadap batas atas suku bunga Fed Funds, yang membuatnya kurang menarik bagi investor berbasis dolar untuk membeli aset-aset dalam mata Ringgit.

“(Bagi Malaysia) sejumlah faktor mendukung penahanan tersebut, termasuk inflasi yang kembali mendekati rata-rata jangka panjang,” menurut Tamara Henderson, ekonom Asia Tenggara di Bloomberg Economics.

“Kenaikan suku bunga tidak akan mengubah sentimen Ringgit. Namun, hal ini akan menambah hambatan pertumbuhan akibat kebijakan fiskal (Malaysia) yang lebih ketat dan melemahnya permintaan global,” tambah dia.