Banda Aceh – Sekitar 120 pengungsi Rohingya yang ditempatkan sementara di Balai Meuseraya Aceh (BMA) sempat melakukan mogok makan sebanyak dua kali. Mereka melakukan aksi itu karena untuk menuntut tempat penampungan yang layak.
“Aksi penolakan makan pertama terjadi saat siang hari (Jumat, 22/12) kemarin, namun setelah dibujuk oleh petugas, mereka mau makan kembali,” kata Kasat Intelkam Polresta Banda Aceh Kompol Suryo Sumatri Darmoyo kepada wartawan, Minggu (24/12/2023).
Saat makan malam, mereka kembali menolak makan. Mereka tampak tidak mau terima nasi bungkus yang dibagikan petugas.
Menurut Suryo, pembagian makan malam dilakukan Yayasan Kemanusiaan Madani Indonesia (YKMI) melalui relawan PMI Banda Aceh. Namun setelah diberikan arahan oleh relawan Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI), mereka akhirnya mau menerima nasi yang dibagikan sekitar pukul 21.10 WIB.
“Berdasarkan keterangan dari salah satu warga Rohingya yang berkomunikasi dengan petugas melalui aplikasi translater, mereka (mogok makan karena) menuntut kejelasan penempatan dan hunian yang layak seperti di Camp Bangladesh,” jelas Suryo.
Suryo menjelaskan, seorang pengungsi yang ditempatkan di sana juga mengaku kehilangan sejumlah pakaian miliknya. Setelah dilakukan penggeledahan, satu celana milik Ridwan ditemukan di tas Rohingya lainnya.
“Setelah sempat protes dan mencari selama kurang lebih setengah jam, akhirnya petugas memerintahkan Ridwan untuk mencarinya besok agar tak mengganggu waktu istirahat pengungsi lainnya,” sebutnya.
Dikutip dari mega4dnews, polisi saat itu sedang berada di kawasan Selayang Jaya dan mendapati mobil Ford Fiesta dikendarai secara mencurigakan.
Polisi kemudian menghentikan mobil itu dan hendak memeriksanya, tetapi dua orang di dalamnya menembakkan senjata ke arah petugas.
Sebagai balasan, polisi melepaskan tujuh tembakan dan masing-masing orang Rohingya itu terkena satu peluru. Semuanya tewas karena luka-luka mereka di tempat kejadian.
Setelah mobil digeledah, ditemukan dua pistol jenis Revolver dan satu parang. Mereka diduga anggota geng Rantau Fiesta yang terlibat lebih dari 50 perampokan di enam negara bagian.
Di negara bagian Selangor saja, mereka diperkirakan melakukan 27 perampokan yang menyebabkan kerugian sekitar 1,3 juta ringgit (Rp 4,34 miliar).
Kasus terbaru terjadi di Batang Kali pada 8 Desember 2023. Mereka mencuri tiga jam tangan Rolex dan dua arloji Hublot yang total ditaksir bernilai sekitar 445.000 ringgit (Rp 1,48 miliar).
Menurut media Bernama yang dikelola Pemerintah Malaysia, geng tersebut kerap mencuri barang-barang kecil berharga tinggi seperti jam tangan dan perhiasan.
Ketiga orang ini sudah melakukan tindakan kriminal sejak 2011. Polis Diraja Malaysia (PDRM) sedang melacak sisa anggota geng dan orang-orang yang membeli barang curian tersebut.
Sebanyak 50 warga Rohingya kembali tiba di Kuala Idi, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, Kamis (14/12/2023) dini hari.
Namun, kapal yang membawa mereka ke Aceh Timur, belum ditemukan.
Perwakilan UNHCR, Faisal Rahman menduga ada lebih banyak warga Rohingya yang ada di kapal yang belum ditemukan itu. Sebab biasanya, dalam satu kapal bisa memuat seratusan lebih pengungsi Rohingya.
Kapolres Aceh Timur AKBP Andy Rahmansyah di Aceh Timur, Kamis, mengatakan keberadaan imigran Rohingya tersebut diketahui pada Kamis (14/12) sekitar pukul 03.45 WIB. Namun mereka dilaporkans sempat lari dan bersembunyi di semak-semak hingga akhirnya ditemukan.
Kini 50 pengungsi Rohingya tersebut telah direlokasi dari tempat pendaratan ikan Kuala Idi ke lapangan Futsal Idi Sport Center. Dikarenaka warga Kuala Idi hanya memberi waktu penempatan sementara Rohingya tersebut hingga siang tadi.
Seluruh Rohingya tersebut juga telah didata dan dilakukan identifikasi oleh tim Polres Aceh Timur.
BERITAMEGA4D.COM – Membludaknya pengungsi Rohingya di Aceh rupanya membuat warga lokal merasa khawatir. Kini untuk mengantisipasi kedatangan perahu pengangkut ratusan pengungsi Rohingya, para nelayan Bireuen kompak melakukan patroli di laut.
Dilansir dari mega4dnews, hal itu diungkapkan oleh Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bireuen, Badruddin Yunus, pada Senin (11/12). Menurut Yunus, warga tak bisa berbuat banyak terhadap ratusan pengungsi yang telah mendarat.
Namun menurutnya para nelayan bisa patroli sebagai upaya untuk mencegah para pengungsi Rohingya mendarat di Bireuen. Adapun patroli tersebut dilakukan para nelayan sembari melaut. “Kalau mereka sudah mendarat, para nelayan tidak bisa mencegah lagi, para nelayan hanya mampu mencegah sebisa mungkin agar mereka tidak mendarat di kawasan Bireuen,” kata Badruddin.
Pasalnya apabila dalam patroli tersebut para nelayan bertemu dengan kapal Rohingya, para nelayan diminta untuk membantu apa yang bisa dibantu untuk mereka. Namun tidak dengan pendaratan di Bireuen.
Yunus mengatakan, kini masih ada kapal yang diduga pengungsi Rohingya di laut lepas. Keberadaan kapal pengangkut pengungsi Rohingya itu pun masih terus dipantau ke mana arahnya.
Jakarta – Ratusan Rohingya kembali berdatangan dan terdampar di wilayah pantai Sabang. Sejak November 2023, tercatat sudah lebih dari 1.000 warga Rohingya mengungsi ke Aceh.
Tidak hanya ke Indonesia, menurut sejarahnya Rohingya telah mengungsi ke beberapa negara untuk mencari perlindungan. Badan Pengungsi PBB (UNHCR), melaporkan bahwa per 31 Oktober 2023, lebih dari sejuta pengungsi Rohingya pergi ke berbagai negara untuk mencari perlindungan.
Lantas siapakah Rohingya itu? Mengapa mereka melarikan diri
Dikutip dari BBC News, Rohingya merupakan suatu kelompok etnis Muslim yang hidup di Myanmar selama berabad-abad lamanya. Mereka adalah kaum minoritas, dikarenakan penduduk Myanmar mayoritas memeluk agama Buddha.
Hal itu yang membuat pemerintah Myanmar menyangkal kewarganegaraan Rohingya dan mengecualikan mereka dari sensus tahun 2014. Pemerintah menganggap bahwa Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh.
Selama di Myanmar, Rohingya menjadi populasi Muslim terbesar di sana dengan jumlah penduduk sekitar satu juta jiwa pada awal 2017. Sebagian besar warga Rohingya hidup di negara bagian Myanmar yaitu Rakhine.
Sejarah Etnis Rohingya
Merangkum arsip beritamega4d.com, masyarakat Rohingya adalah penghuni daerah Arakan yang dipimpin oleh Raja Suleiman Shah pada tahun 1420. Raja Suleiman Shah ini sebelumnya adalah raja Buddhis bernama Narameikhla.
Sayangnya kerajaan tersebut diambil alih kuasa oleh Raja Myanmar pada tahun 1784 dan tahun 1824 Arakan menjadi koloni Inggris. Rohingya mengalami masa buruk ketika dijajah oleh Inggris dan berlanjut sampai penjajahan Jepang yang menyerang Burma atau Myanmar pada tahun 1942.
Setelah Myanmar merdeka pada 1948, terjadi ketegangan antara pemerintah dengan Rohingya. Warga Rohingya ditolak untuk menjadi warga negara Burma dan terjadi pengucilan terhadap mereka.
Rohingya Mendapat Perlakuan Buruk
Dikarenakan Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan di Myanmar, hal itu yang kemudian membuat Rohingya mendapatkan berbagai perlakuan buruk dari warga setempat. Mereka mengalami pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan ancaman lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Rohingya keluar dari Myanmar untuk menghindari kekerasan komunal oleh pasukan keamanan. Rohingya mengalami aksi kekerasan besar-besaran pada 25 Agustus 2017 di Rakhine.
Dilansir dari beritamega4d.com, pihak militer Myanmar melakukan aksi brutalnya dengan menghancurkan desa warga Rohingya dan menewaskan ribuan korban.
Peristiwa tersebut mendapat perhatian PBB dan menganggap bahwa adanya niat genosida terhadap Rohingya. Meskipun begitu pemerintah Myanmar menolak tuduhan tersebut sehingga International Criminal Court (ICC) mengadakan penyelidikan atas kasus ini.
Kemudian dari peristiwa tersebut, mayoritas warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh pada tahun 2017. Dilansir dari beritamega4d.com, ternyata selama mengungsi di sana, kehidupan Rohingya masih sama saja mengalami kesulitan dalam berbagai aspek.
Hal itu yang membuat mereka melarikan diri lagi dari Bangladesh untuk mencari perlindungan negara lain.
Alasan Rohingya Melarikan Diri
Selama di Bangladesh, kehidupan Rohingya tetaplah sulit karena kekurangan makanan, masalah keamanan, masalah pendidikan, dan tidak adanya kesempatan kerja disana.
Berikut alasan Rohingya melarikan diri dari Bangladesh:
1. Masalah Keamanan di Bangladesh
Kondisi keamanan kamp Cox’s Bazar diketahui banyak terjadi penculikan, pemerasan, pembunuhan, penembakan, dan serangan.
Menurut laporan Human Rights Watch 2023, bahwa terdapat geng kriminal dan afiliasi kelompok bersenjata Islamis yang menyerang kamp pengungsi pada malam hari. Bahkan menurut kepolisian Bangladesh, tahun ini sedikitnya 60 orang Rohingya terbunuh di kamp Cox’s Bazar.
2. Kurangnya Sumber Makanan
Menurut salah satu pendiri aktivis Free Rohingya Coalition, bahwa Program Pangan Dunia atau WFP telah memotong jatah makanan para pengungsi pada awal tahun ini.
Warga Rohingya hanya mendapatkan jatah sebesar 8 dolar atau sekitar Rp124.000 untuk satu orang selama satu bulan. Hal itu menyulitkan mereka bertahan karena makanan adalah sumber hidupnya.
3. Sulit Mengakses Pekerjaan dan Pendidikan
Pengungsi Rohingya di Bangladesh mendapatkan batasan dalam mengakses pekerjaan dan pendidikan di sana.
Mereka tidak diizinkan untuk bekerja atau bersekolah yang layak karena pihak pemerintah tidak ingin mereka berintegrasi ke masyarakat umum. Bahkan kaum Rohingya dilarang untuk belajar bahasa Bengali, bahasa masyarakat Bangladesh.
Aceh – Berbagai tindak kekerasan yang diterima etnis Rohingya di Myanmar mendorong mereka mengungsi ke sejumlah negara. Indonesia, lebih tepatnya Aceh, menjadi tujuan utama pelarian mereka.
Akan tetapi, akhir-akhir ini, warga Aceh malah semakin getol menolak kedatangan mereka. Dari kabar terbaru, warga setempat sampai membongkar tenda tempat penampungan para pengungsi Rohingya.
Mungkin terlihat kurang manusiawi. Namun demikian, bukan tanpa alasan pengungsi Rohingya ditolak di Aceh. Fakta di lapangan menunjukkan, warga negara Rohingya ternyata berperilaku buruk yang lantas meresahkan masyarakat Aceh.
Rasa kasihan terhadap pengungsi Rohingya yang menantang maut menuju Aceh menjadi sirna lantaran kelakuan buruk mereka. Dihimpun dari arsip berita beritamega4d.com, berikut rangkuman informasi tentang beragam kelakuan buruk pengungsi Rohingya di Aceh.
1. Buang Bantuan Warga ke Laut
Ketibaan pengungsi Rohingya di Aceh mula-mulanya disambut baik oleh warga setempat. Mereka diberi bantuan berupa air mineral dan nasi bungkus. Akan tetapi, seolah tak bersyukur, mereka malah membuang bantuan warga ke laut.
Kejadian tersebut terjadi saat rombongan yang terdiri dari 249 imigran Rohingya tiba di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Bireuen, Aceh. Masyarakat menolak para imigran turun ke daratan.
Kendati disuruh pergi, masyarakat dari Desa Pulo Pineung Meunasah Dua tetap memberikan sejumlah bantuan. Hanya saja, bantuan tersebut malah dibuang ke laut usai para imigran Rohingya tersebut dilarang turun dari kapal.
“Tadi mereka kita bantu kita berikan nasi, mie instan, air mineral, beras dan lainnya. Awalnya mereka menolak yang kita kasih dan beras sama Indomie dibuang ke laut,” kata Kapolsek Jangka Ipda Novizal saat dimintai konfirmasi beritamega4d.com, Kamis (16/11/2023).
2. Kabur dari Kamp Pengungsian
Sejumlah imigran etnis Rohingya diketahui pernah mencoba melarikan diri dari kamp pengungsian. Berdasarkan keterangan polisi, aksi mereka itu kerap dilakukan usai difasilitasi orang-orang yang menyewa kendaraan, sopir hingga arah tujuan.
Diberitakan beritamega4d.com, sebanyak 12 imigran Rohingya pernah mencoba kabur dari kamp penampungan sementara di Ladong, Aceh Besar, Aceh. Mereka diciduk saat hendak menaiki mobil dengan tujuan ke Medan, Sumut.
Sebelum kejadian di Aceh Besar tersebut, 28 imigran Rohingya yang ditampung di UPTD Dinas Sosial di Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, juga pernah melarikan diri. Imigran-imigran tersebut kabur dengan memanjat pohon dan tembok.
“Benar ada 28 pengungsi Rohingya kabur. Mereka lari dengan cara memanjat pohon dan menggapai tembok. Saat ini kami dibantu warga masih melakukan pencarian,” kata Kabid Humas Polda Aceh Kombes Joko Krisdiyanto kepada wartawan, Senin (13/3).
Bahkan, sebagian besar imigran Rohingya yang tiba di Aceh sebenarnya merupakan mereka yang kabur dari kamp pengungsian di Bangladesh. Hasil penyelidikan polisi menunjukkan, para pengungsi tersebut sengaja membayar kapal orang Bangladesh untuk berlayar ke Indonesia.
“Ini hasil dari penyelidikan kita. Mereka membiayai dengan membayar kapal dengan awak kapalnya orang Bangladesh, masuk ke Indonesia tanpa prosedur yang resmi sehingga ini bisa dikategorikan sebagai penyelundupan manusia,” jelas Kapolda Aceh Irjen Achmad Kartiko kepada wartawan di Mapolda Aceh, (30/11).
3. Tidak Mematuhi Norma dan Adat Masyarakat Setempat
Tidak ada asap jika tidak ada api. Warga Aceh bukan tanpa sebab mengusir kedatangan pengungsi Rohingya. Pemicu utama penolakan tersebut adalah karena sikap dan perilaku buruk dari imigran Rohingya yang pernah terdampar sebelumnya.
“Salah satu alasan penolakan yang berkembang, karena imigran Rohingya yang pernah terdampar sebelumnya berperilaku kurang baik dan tidak patuh pada norma-norma masyarakat setempat,” kata Kabid Humas Polda Aceh Kombes, Joko Krisdiyanto, dalam keterangan kepada wartawan.
Disebutkan pula oleh Kapolres Lhokseumawe AKBP, Henki Ismanto, para pengungsi Rohingya tidak mematuhi adat serta syariat Islam yang diterapkan di Aceh.
“Para pengungsi yang melarikan diri, tidak menjaga kebersihan, dan tidak mengindahkan syariat Islam dan adat di kalangan masyarakat,” terang Henki.
4. Memperkosa Anak di Bawah Umur
Kelakuan buruk pengungsi Rohingya tidak hanya sebatas kabur dari kamp pengungsian dan membuang bantuan warga. Seorang warga negara Rohingya ditangkap polisi setelah diduga telah memperkosa anak di bawah umur.
Pelaku yang berinisial RU melancarkan aksi kejinya di kamp penampungan sementara di Padang Tiji, Pidie, Aceh. Ia ditangkap usai orang tua korban melapor ke pos pengamanan.
“Pelaku memperkosa korban di bilik tempat korban tinggal. Pelaku mengancam korban dengan sebilah pisau untuk diam,” kata Kasat Reskrim Polres Pidie Iptu, Rangga Setyadi, saat dimintai konfirmasi beritamega4d.com, Senin (4/7).
Sementara itu, korban dibawa ke RSUD Tgk Chik Ditiro Sigli untuk dilakukan pemeriksaan.
“Pemeriksaan awal dengan didampingi penerjemah yang ditunjuk pihak UNHCR, pelaku mengakui benar ia telah melakukan pelecehan seksual terhadap korban,” jelas Rangga.
Batam – Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebut Pulau Galang, Batam Kepulauan Riau (Kepri) bisa jadi opsi penampungan pengungsi Rohingya. Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad mengaku siap jika memang opsi itu menjadi kebijakan pemerintah pusat.
“Pemerintah kabupaten kota adalah penyelenggara negara di lini terbawah, artinya kalau negara sudah memiliki kebijakan terkait pengungsi Rohingya diberikan dukungan dan negara memutuskan Batam (sebagai tempat penampungan) dan disambut gagasan pak wakil presiden tentunya kami pemerintah daerah siap melaksanakan itu,” kata Amsakar, Rabu (6/12/2023).
Amsakar menyebut pihaknya siap menjadi tempat penampungan pengungsi Rohingya karena Batam punya pengalaman penanganan pengungsi Vietnam. Selain itu Batam juga punya pengalaman penanganan COVID-19 dengan dibangunnya Rumah Sakit Khusus infeksi (RSKI) di Pulau Galang.
“Saya sampaikan bahwa Batam cukup punya pengalaman untuk tugas kemanusiaan. Mulai dari penampungan pengungsi Vietnam, penanganan COVID-19 yang sempat pro kontra terkait pembangunan RSKI tapi Alhamdulillah bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.
Amsakar menerangkan pihaknya siap menampung pengungsi Rohingya dengan pertimbangan kemanusiaan. Ia juga menjelaskan hal itu sesuai amanat nasional Indonesia.
“Ini adalah tugas kemanusiaan dan mengambil peran untuk masyarakat dunia. Dan itu jadi bagian politik Indonesia serta salah satu bagian tujuan nasional Kita. Menjaga ketertiban umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga ketertiban umum. Indonesia dalam sejarah kemanusiaan ini banyak peran dan luar biasa membantu persoalan dunia Dan bagaimana kita bisa hadir di persoalan dunia internasional ,” terangnya.
“Intinya jika ada kebijakan pemerintah pusat kita komunikasi secara bijak. Karena kita bicara nurani pada hakikatnya nurani setiap orang ingin membantu sesama manusia,” tambahnya.
Disinggung terkait potensi konflik yang akan timbul terkait wacana Pulau Galang Batam dijadikan tempat pengungsian, Amsakar menyebut itu bisa diatasi jika sudah jadi kebijakan pemerintah pusat.
“Potensi konflik yang akan terjadi, kalau dia sudah jadi kebijakan negara dari persoalan A hingga Z pasti sudah dipagari. Kemungkinan risiko terburuk akan dipersiapkan langkah antisipasi dilakukan,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menekankan pemerintah akan mencarikan solusi terbaik soal pengungsi Rohingya. Ma’ruf menyebutkan pemerintah segera mengambil langkah-langkah terkait itu.
“Oleh karena ini ada solusi-solusi yang pas dan masyarakat kita juga dan penempatannya dimana. Dulu juga pernah kita menjadikan Pulau Galang untuk pengungsi Vietnam, nanti kita akan bicarakan lagi apa akan seperti itu, saya kira pemerintah akan mengambil langkah-langkah,” kata Ma’ruf Selasa (5/12/2023) dilansir beritamega4d.com.
“Oleh karena ini ada solusi-solusi yang pas dan masyarakat kita juga dan penempatannya dimana. Dulu juga pernah kita menjadikan Pulau Galang untuk pengungsi Vietnam, nanti kita akan bicarakan lagi apa akan seperti itu, saya kira pemerintah akan mengambil langkah-langkah,” ujarnya
Batam – Buntut permasalahan pengungsi Rohingya di Aceh berujung pada dijadikannya Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), sebagai opsi tempat penampungan.
Gagasan dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin itu disambut baik oleh Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad. Dirinya mengaku siap jika memang opsi itu menjadi kebijakan pemerintah pusat.
“Pemerintah kabupaten kota adalah penyelenggara negara di lini terbawah. Artinya, kalau negara sudah memiliki kebijakan terkait pengungsi Rohingya diberikan dukungan dan negara memutuskan Batam (sebagai tempat penampungan) dan disambut gagasan pak wakil presiden, tentunya kami pemerintah daerah siap melaksanakan itu,” kata Amsakar, Rabu (6/12/2023).
Adapun Pulau Galang yang ada di Kepri tersebut dulunya juga pernah menjadi tempat penampungan para manusia perahu. Dilansir dari arsip beritamega4d.com dan sumber lainnya, simak rangkuman informasi tentang Pulau Galang berikut ini.
Disebutkan dalam Pulau Galang sebagai Penampungan Pengungsi Vietnam oleh Bunari (2017), berdasarkan cerita rakyat yang beredar di masyarakat, galang memiliki arti ‘landasan’.
Pulau Galang terletak di Kepulauan Riau dengan luas sekitar 80 km persegi. Pulau ini hanya berjarak 7 km dari Pulau Batam.
Wilayahnya merupakan gabungan dari tiga pulau, yakni Batam, Rempang, dan Galang. Ketiganya dihubungkan dengan sebuah jembatan yang dikenal dengan nama Jembatan Barelang.
Jembatan tersebut dibangun pada 1992-1998. Membentang sejauh 54 km, Jembatan Barelang merupakan buah tangan dari mendiang Presiden BJ Habibie dan menjadi ikon wilayah tersebut hingga saat ini.
Sejarah Singkat Pulau Galang Batam
Pulau Galang sudah dikenal bahkan sejak era Kerajaan Melayu Riau. Masih berdasarkan Bunari (2017), pulau seluas 80 km persegi tersebut mulanya dikenal sebagai “pulau para Lanun”.
Julukan tersebut erat kaitannya dengan konflik antara kolonial Belanda dan Kerajaan Melayu Riau pada peristiwa tahun 1784 dan 28 Juni 1837.
Catatan sejarah menunjukkan pula bahwa pulau yang pernah ditanami pohon karet ini pernah beberapa kali menjadi sebuah tempat penampungan.
Yang paling pertama adalah sebagai penampungan tentara Jepang pada 1945 sebelum mereka dikembalikan ke negaranya. Kemudian, pada 1979, Pulau Galang menjadi tempat pengungsian para manusia perahu dari Vietnam.
a. Pulau Galang dan Kampung Vietnam
Berlangsung saat Presiden Soeharto masih menjabat, beritamega4d memberitakan, mengungsinya orang-orang Vietnam ke berbagai negara dipicu oleh konflik di negara mereka, yakni jatuhnya Saigon dan kemenangan Partai Komunis pada 1975.
Masyarakat Vietnam takut diperlakukan buruk oleh kepemimpinan yang baru sehingga mereka terpaksa mengarungi lautan dengan perahu kayu untuk mencari suaka di berbagai negara.
Beberapa ada yang terdampar ke Malaysia dan Filipina. Sementara itu, ada pula yang tiba di Indonesia.
Pada kedatangan pertama, setidaknya ada 97 warga negara Vietnam yang terdampar. Oleh penduduk setempat, mereka pun ditampung. Hanya saja, jumlah warga Vietnam yang tiba semakin banyak. Dari laporan PBB pada 1979, ada 43.000 manusia perahu masuk ke Indonesia.
Alhasil, atas dasar kemanusiaan, Presiden Soeharto memutuskan untuk memberi izin para pengungsi untuk tinggal di Pulau Galang untuk sementara waktu.
Pemerintah saat itu membangun barak-barak, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan pos keamanan di atas lahan seluas 80 ha. Para pengungsi menetap di kawasan tersebut hampir 17 tahun lamanya.
Barulah pada 1996, sekitar 250 ribu pengungsi yang menetap di Pulau Galang dipulangkan kembali ke negara asal mereka.
Adapun lokasi bekas tempat pengungsian warga Vietnam tersebut dijuluki sebagai Kampung Vietnam. Meski sudah ditinggal oleh para pengungsi, wilayah tersebut masih tetap dijaga.
Bahkan, bangunan-bangunan peninggalan Kampung Vietnam kini menjadi wisata sejarah kemanusiaan yang dikelola oleh BP Batam.
b. Menjadi Lokasi Penanganan COVID-19 di Era Presiden Jokowi
Pemerintah akan membangun RS khusus penyakit menular, termasuk virus Corona di Pulau Galang, Kepulauan Riau. RS ini akan merehat bangunan yang sudah ada. (Foto: Agus Siswanto Siagian/beritamega4d.com)
Jika pada masa pemerintahan Soeharto menjadi suaka pengungsi Vietnam, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Pulau Galang juga pernah menjadi lokasi penanganan COVID-19.
Diberitakan beritamega4d.com, gedung bekas rumah sakit yang ada di kampung Vietnam disulap menjadi Rumah Sakit Khusus Infeksi COVID-19.
Setelah beroperasi untuk penanganan COVID-19, RSKI Pulau Galang yang sebelumnya dikelola oleh BNPB RI kini diserahkan pengelolaannya ke Kemenhan pada Desember 2022 lalu.
Selama beroperasi RSKI telah merawat 21 ribu pasien. Sejak Mei 2022, sudah tidak ada lagi pasien yang dirawat di rumah sakit ini.
Medan – Dalam kurun waktu 14-21 November 2023 ada 1.084 pengungsi Rohingya yang datang ke Sabang, Aceh. Mereka datang dengan menumpangi kapal milik warga Bangladesh.
Badan Pengungsi PBB (UNHCR), melaporkan bahwa per 31 Oktober 2023, lebih dari sejuta pengungsi Rohingya pergi ke berbagai negara untuk mencari perlindungan.
Pengungsi Rohingya tidak hanya mengungsi ke Indonesia, sejarahnya Rohingya telah mengungsi ke beberapa negara untuk mencari perlindungan.
Lantas siapa itu pengungsi Rohingya dan kenapa mereka melarikan diri? Dilansir beritamega4d.com, berikut ulasan lengkapnya.
Dikutip dari beritamega4d.com, Rohingya merupakan suatu kelompok etnis Muslim yang hidup di Myanmar selama berabad-abad lamanya. Mereka adalah kaum minoritas, dikarenakan penduduk Myanmar mayoritas memeluk agama Buddha.
Hal itu yang membuat pemerintah Myanmar menyangkal kewarganegaraan Rohingya dan mengecualikan mereka dari sensus tahun 2014. Pemerintah menganggap bahwa Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh.
Selama di Myanmar, Rohingya menjadi populasi Muslim terbesar di sana dengan jumlah penduduk sekitar satu juta jiwa pada awal 2017. Sebagian besar warga Rohingya hidup di negara bagian Myanmar yaitu Rakhine.
Sejarah Etnis Rohingya
Merangkum arsip beritamega4d.com, masyarakat Rohingya adalah penghuni daerah Arakan yang dipimpin oleh Raja Suleiman Shah pada tahun 1420. Raja Suleiman Shah ini sebelumnya adalah raja Buddhis bernama Narameikhla.
Sayangnya kerajaan tersebut diambil alih kuasa oleh Raja Myanmar pada tahun 1784 dan tahun 1824 Arakan menjadi koloni Inggris. Rohingya mengalami masa buruk ketika dijajah oleh Inggris dan berlanjut sampai penjajahan Jepang yang menyerang Burma atau Myanmar pada tahun 1942.
Setelah Myanmar merdeka pada 1948, terjadi ketegangan antara pemerintah dengan Rohingya. Warga Rohingya ditolak untuk menjadi warga negara Burma dan terjadi pengucilan terhadap mereka.
Rohingya Mendapat Perlakuan Buruk
Dikarenakan Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan di Myanmar, hal itu yang kemudian membuat Rohingya mendapatkan berbagai perlakuan buruk dari warga setempat. Mereka mengalami pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan ancaman lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Rohingya keluar dari Myanmar untuk menghindari kekerasan komunal oleh pasukan keamanan. Rohingya mengalami aksi kekerasan besar-besaran pada 25 Agustus 2017 di Rakhine.
3 Alasan Rohingya Melarikan diri dari Bangladesh
1. Masalah Keamanan di Bangladesh
Kondisi keamanan kamp Cox’s Bazar diketahui banyak terjadi penculikan, pemerasan, pembunuhan, penembakan, dan serangan.
Menurut laporan Human Rights Watch 2023, bahwa terdapat geng kriminal dan afiliasi kelompok bersenjata Islamis yang menyerang kamp pengungsi pada malam hari. Bahkan menurut kepolisian Bangladesh, tahun ini sedikitnya 60 orang Rohingya terbunuh di kamp Cox’s Bazar.
2. Kurangnya Sumber Makanan
Menurut salah satu pendiri aktivis Free Rohingya Coalition, bahwa Program Pangan Dunia atau WFP telah memotong jatah makanan para pengungsi pada awal tahun ini.
Warga Rohingya hanya mendapatkan jatah sebesar 8 dolar atau sekitar Rp124.000 untuk satu orang selama satu bulan. Hal itu menyulitkan mereka bertahan karena makanan adalah sumber hidupnya.
3. Sulit Mengakses Pekerjaan dan Pendidikan
Pengungsi Rohingya di Bangladesh mendapatkan batasan dalam mengakses pekerjaan dan pendidikan di sana.
Mereka tidak diizinkan untuk bekerja atau bersekolah yang layak karena pihak pemerintah tidak ingin mereka berintegrasi ke masyarakat umum. Bahkan kaum Rohingya dilarang untuk belajar bahasa Bengali, bahasa masyarakat Bangladesh.
Dilansir dari beritamega4d.com, pihak militer Myanmar melakukan aksi brutalnya dengan menghancurkan desa warga Rohingya dan menewaskan ribuan korban.
Peristiwa tersebut mendapat perhatian PBB dan menganggap bahwa adanya niat genosida terhadap Rohingya. Meskipun begitu pemerintah Myanmar menolak tuduhan tersebut sehingga International Criminal Court (ICC) mengadakan penyelidikan atas kasus ini.
Kemudian dari peristiwa tersebut, mayoritas warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh pada tahun 2017. Dilansir dari beritamega4d.com, ternyata selama mengungsi di sana, kehidupan Rohingya masih sama saja mengalami kesulitan dalam berbagai aspek.
Hal itu yang membuat mereka melarikan diri lagi dari Bangladesh untuk mencari perlindungan negara lain.